Berikut ini kisah seseorang yang semoga dapat meningkatkan kualitas kita dalam mengajar, sebuah kisah yang semoga membuka pengetahuan kita mengenai strategi pembelajaran, strategi mengajar.
***
"Pak, ada satu siswa di kelas saya yang kurang bersemangat saat di kelas," cerita salah seorang mahasiswa PPL di sebuah sekolah di Kecamatan Seyegan Sleman pada saya. "Kalau saya minta berpendapat dia diam. Kalau saya minta maju ke depan, dia tidak mau. Kerjaannya bikin onar dalam kelas. Mengganggu yang lain." Saya tidak tahu pasti bagaimana kondisinya. yang dapat saya lakukan hanya membayangkan situasinya. Maka, pada sahabat mahasiswa tersebut, saya hanya mengajaknya sharing, dan menyampaikan beberapa prinsip dasar saja."Menurut saya," saya berusaha menanggapi ceritanya, "setiap anak yang mengalami demotivasi, pasti punya background yang melatarbelakanginya. Inilah yang perlu kita ketahui. Hindari memvonis. Jadikan ia seorang sahabat." Hanya itu yang saya sampaikan. Intinya, jangan gemar dan gampang menjustifikasi murid. Yakinilah, Tuhan tak pernah menciptakan produk gagal. Para pendidik seyogyanya disibukkan untuk bersahabat dan berdekatan dengan anak-anak dan tidak diribetkan dengan hal-hal administratif semata. Ini tidak berarti bahwa perkara administratif diabaikan. Sama sekali tidak!
Tapi, ketika calon guru hanya diarahkan tentang bagaimana presentasi yang prosedural dan merancang rencana pembelajaran yang sesuai aturan, saya yakin, ia akan mengalami kegagapan tatkala berhadapan dengan murid-murid di depan kelas. Telah banyak korbannya. Para guru yang sibuk dengan hal-hal administratif, tetapi tidak berani bertindak kreatif, dan mengalami kesalahan paradigma dalam memandang keragaman anak-anak.
Nah! kembali pada cerita di atas, sahabat mahasiswa tersebut lalu berusaha dekat dan akrab dengan sang murid. Sampai akhirnya ia berhasil menjadi sahabat dengan sang murid. "Orangtuanya jadi TKW di Malaysia, Pak. Dua-duanya. Di Seyegan dia tinggal dengan neneknya," cerita mahasiswa saya itu dengan antusias. "Wah, untung saya tidak memvonisnya. saya kira yang dia butuhkan adalah perhatian dan kasih sayang, bukan vonis kejam dari guru-gurunya."
Plong! Saya menganggap pengalaman tersebut jauh lebih berharga daripada praktik yang kami lakukan di kelas micro-teaching. Saya bahagia dapat menemani teman-teman calon guru itu menemukan sendiri pengalaman mereka yang luar biasa.
Tak ada kebahagiaan yang menggetarkan guru, selain ketika ia mampu mengantarkan murid-muridnya yang dianggap bermasalah dan disingkirkan menjadi pribadi yang bermakna. Saya sadar, guru-guru yang memberi kasih sayang lebih kepada murid-muridnya akan dianggap anomali oleh teman-teman guru yang lain. Boleh jadi ia akan dicibir, dianggap sok jagoan, dan penyudutan yang lain, sampai suatu ketika budaya sekolah benar-benar berubah. Dan, anak-anak sekolah serasa di rumah. []
oleh : Dwi Budiyanto
Pemerhati pendidikan, Dosen UNY
0 comments:
Post a Comment