Kemarin ibu saya telepon. Beliau mengabarkan bahwa seluruh murid-muridnya lulus. Ada bangga terselip dalam cerita beliau. "Alhamdulillah, mas," kata ibu, "anak-anak semua lulus, meski peringkat sekolah tidak beranjak, tapi rasanya bangga." cerita pun berlanjut.
Ada seorang ibu yang saking gembiranya ia mengucap terima kasih, bahkan memberi hadiah beberapa guru. "Terima kasih, anak saya telah diterima dan dididik di sekolah ini sampai lulus," kata seorang ibu yang berprofesi sebagai wartawan sambil menangis, seperti dituturkan kembali oleh ibu saya. Sang ibu sangat berterima kasih pada sekolah. Pasalnya, anaknya adalah anak 'buangan'.
Awalnya ia sekolah di sekolah dasar favorit: rsbi! Tapi, karena prestasi akademiknya dianggap merosot, ia pun disingkirkan, dibuang ke sekolah yang dikepalai ibu saya, yang dianggap sekolah pinggiran. Ternyata kasus pembuangan anak-anak dari sekolah favorit ke sekolah pinggiran itu telah jamak dilakukan. Di sekolah ibu saya saja ada delapan anak yang mengalami nasib mengenaskan itu. Delapan anak adalah angka yang besar. Ini hanya di satu sekolah yang menerima. Ada berapa sekolah lagi yang dilimpahi anak-anak 'terbuang' ini?
Kejahatan sekolah, demikian ibu saya mengomentari praktik mengenaskan ini. Sekolah-sekolah yang dianggap unggulan (khususnya yang melakukan kejahatan terhadap muridnya) ternyata tak lebih dari sekolah tempat berkumpul anak-anak pintar dengan para guru yang tak mau 'rekoso' membimbing anak-anaknya. Untuk menjaga citra dan ranking sekolah, mereka rela membuang anak-anak ke sekolah lain. Saya bayangkan anak-anak yang terbuang itu akan mengalami demotivasi yang semakin akut. Alih-alih dibimbing dan di sayang, eh, kok malah dibuang. Maka, tak mengherankan jika orangtua siswa begitu berterima kasih pada sekolah yang memanusiakan murid-muridnya.
Dengan berseloroh dan bercanda saya katakan pada ibu, "Semestinya anak-anak yang belum bisa paham di sekolah pinggiranlah yang dipindah ke sekolah unggulan, Bu. Agar anak-anak itu bersentuhan dengan guru-guru yang telah berhasil memahamkan murid-muridnya, bukan malah sebaliknya. Kalau sekolah itu telah berhasil membentuk anak-anak 'cerdas' sekarang dicoba mencerdaskan anak-anak yang dianggap terlambat itu." Tentu saja tidak ada sekolah yang menganggap dirinya unggul, yang bersedia menerima murid-murid kurang pintar.
Ah, masih banyak pe-er yang harus kita selesaikan. Seandainya ada banyak orang yang merelakan dirinya menjadi relawan pendidikan, agar sekolah-sekolah di negeri ini lebih berdaya, tanpa mengandalkan pemerintah (yang kadang terjebak pada program bagi-bagi proyek, sehingga kurang menyentuh akar masalah), saya kira ada yang dapat ditingkatkan, sekecil apapun itu. []
Pemerhati pendidikan, Dosen
0 comments:
Post a Comment